Yogyakarta – Kabasumbar: Perairan Indonesia harus digunakan untuk kemakmuran rakyat, hal tersebut dipertegas oleh Komite II DPD RI saat melakukan kunjungan kerja ke Daerah Istimewa Yogyakarta pada Selasa, (24/01/2023).
Kunjungan tersebut dalam rangka inventarisasi materi Penyusunan RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Menurut Wakil Ketua Komite II, Lukky Semen,
RUU ini menjawab kegelisahan banyak pihak atas belum optimalnya pemanfaatan potensi perikanan yang dimiliki Indonesia.
Padahal menurutnya sektor perikanan merupakan salah satu sektor potensial yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.
Pada kunjungan kerja kali ini, Komite II diterima langsung oleh Gubernur DIY beserta jajaran, Kepala Dinas Perikanan seluruh kabupaten di Yogyakarta serta perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dalam sambutanya, Wakil Ketua Komite II, Lukky Semen, menyatakan UU No 31 Tahun 2004 belum memberikan implikasi positif terhadap pengelolaan perikanan di Indonesia, terutama bagi peningkatan perekonomian di daerah.
Dikatakannya, sehingga hal tersebut menjadi salah satunya yang perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara undang-undang tentang perikanan dengan undang-undang eksisting seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, dirinya juga menegaskan bahwa banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dengan terbitnya Permen-KP No 18 tahun 2021. Hal ini yang perlu dievaluasi melalui perubahan undang-undang tersebut.
“Komite II menitik beratkan pada 12 poin dalam perubahan undang-undang ini, dimana yang paling utama ialah peningkatan kesejahteraan bagi para nelayan serta masyarakat yang berkecimpung dalam usaha perikanan, termasuk juga perikanan air tawar,” ungkap Lukky.
Sementara itu, Sekretaris Daerah DIY, Raden Kadarmanta Baskara Aji, saat membacakan sambutan Gubernur, menyampaikan, DIY memiliki potensi perikanan tangkap di laut selatan yang mencapai 320.600 ton per tahun, sedangkan potensi yang lebih luas di Samudera Hindia mencapai 906.340 ton per tahun.
“Bila dilihat lebih luas, DIY berada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 yang mencakup 8 provinsi yang meliputi selatan Jawa hingga Nusa Tenggara dengan total potensi 491.700 ribu ton/tahun. Namun salah satu kendala perikanan yang dihadapi yaitu keberadaan nelayan andon yang datang dari luar DIY dan menjadi pesaing bagi nelayan asli DIY,” ungkap Raden.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Kadis Perikanan Gunung Kidul, ia mengeluh terhadap persoalan harga pakan. Menurutnya kenaikan harga pakan yang terjadi terus menerus tidak sebanding dengan kenaikan harga ikan yang justru bergerak lambat.
Alhasil banyak peternak ikan yang pendapatanya menjadi berkurang.
“Kami berharap persoalan pakan ini juga menjadi perhatian dan dimasukkan dalam materi perubahan RUU. Kemudian juga tentang benih, dimana kualitas benih harus dimulai dari penyediaan induk yang bagus,” tuturnya.
Sedangkan perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diwakili oleh Direktur Pakan dan Obat Ikan, Ujang Komarudin menjelaskan, memang terdapat kendala di kementerian yaitu terkait dengan penelitian dan pengembangan perikanan.
“Dulu kita punya para ahli yang melakukan penelitian secara mandiri, baik penelitian benih maupun bibit unggul. Namun sekarang, para peneliti tersebut telah bermigrasi ke BRIN. Sehingga kita tidak mampu lagi menghasilkan produk produk yang berkualitas,” jelas. Ujang.
Ujang berharap, permasalahan ini juga dimasukkan ke dalam pembahasan perubahan undang-undang ini.
Dalam kunjungan tersebut, Komite II juga berkesempatan meninjau langsung Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP) di Turi, Sleman.
Selama peninjauan, Komite II mengapresiasi serta menerima masukan dari kelompok masyarakat Mina Taruna Bakti sebagai pengelola tempat tersebut.
(Zoelnasti/Saipen Kasri)
Facebook Comments