oleh: Syeikh Mulia di Ketinggian
Seperti yang telah diketahui umat muslimin pada umumnya. Yang sampai kepada Tuhan bukan tubuh. Karena Allah tidak memandang rupa ataupun bentuk fisik manusia.
Yang sampai kepada Tuhan (Allah ) tidak pula fikiran maupun jiwa. Karena banyak orang berfikir dan berjiwa, justru malah tidak kenal pada tuhannya.
Yang sampai kepada Tuhan (Allah ), adalah kesadaran dari tubuh, kesadaran dari fikiran, serta kesadaran dari jiwa itu sendiri. Itulah yang sampai kepada Allah.
Ketiga kesadaran ini mestilah selalu kita miliki di manapun kita berada. Tiga kesadaran ini tidak boleh lepas dari kita. Jika salah satu kesadaran ini hilang dari kita akan fatal akibatnya.
Makanya Allah mengatakan dengan tegas “janganlah engkau sholat dalam keadaan mabuk.” Karena orang mabuk bukan tidak punya tubuh, akal atau fikiran. Tetapi kesadaran akalnyalah yang tidak sempurna. Sehingga tubuh sulit diatur dan dikendalikan. Fikiranpun mengelantur ke mana-mana. Dan Jiwanya juga tidak pernah bisa tenang, meskipun dia telah mengerjakan sholat.
Apalagi jika kesadaran diri itu yang hilang. Seperti yang terjadi pada orang mabuk. Sehingga apa yang dilakukan dan dituturkannya tidak menyambung dengan apa yang dimaksudkannya. Sudahlah tentu sasaran yang diinginkannya tidak akan pernah bisa dicapai.
Sebenarnya inti dari segala kesadaran itu terletak pada hati. Atau yang lebih populer dikenal dengan nama qalbu. Karena itulah Allah berfirman dalam hadist qudsi, “Sesungguhnya Aku tidak lolos pada langit dan bumi. Tetapi Aku lolos ke hati orang yang beriman”. Sebab qalbu mukminin itu adalah baitullah, dan hatinya orang mukmin itu rumah Allah. Di sinilah tempat mukmin saling bertemu dengan Allah.
Dan ini pulalah yang sesungguhnya yang disebut dengan rumah Allah. Yaitu tempat yang tersembunyi dalam rongga qalbu. Sebagai tempat bertemunya Allah dengan hamba-Nya.
Di rumah yang bernama qalbu itulah tempat kita di dengar dan mendengar . Yaitu suatu ruang yang disebut dengan hati Rabbani atau Latif. Dia terletak dalam sebuah rongga yang mesti dibersihkan.
Untuk mengetahui hal ini secara benar, kita perlu berguru. Supaya kita dapat dibimbingnya meniti ke dalam diri kita sendiri. Seperti yang di isyaratkan Allah dalam firman-nya pada surat Al-Kahf : 17
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
Engkau akan melihat matahari yang ketika terbit condong ke sebelah kanan dari gua mereka. Dan yang ketika terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada di tempat yang luas di dalamnya (gua itu). Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Allah memberinya petunjuk, pada siapa yang dikehendakinya Dan terhadap orang yang disesatkan-Nya. engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberi mereka petunjuk.
Dan Allah, terhadap siapa saja yang dikehendaki-Nya mendapatkan petunjuk. Dia tidak butuh mengompromikannya pada siapapun. Allah pasti mendatangkan seorang penunjuk jalan bagi orang itu.
Tapi siapapun yang tidak dikehendaki Allah untuk mendapatkan petunjuk, sampai matipun dia tidak akan dipertemukan dengan seorang walian mursyidin, yang akan menuntunnya menjalankan petunjuk. Artinya dia tidak akan mendapatkan guru yang bisa membimbingnya merunut ke dalam dirinya sendiri.
Maka jadilah dia orang yang hanya sebatas pendengar yang tidak paham terhadap maksud yang didengarnya. Sebagai pendengar cerita dongeng yang kemudian dikisahkannya pula pada orang lain, tanpa memahami amanat dan pesan nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Sehingga jadilah dia pendongeng dadakan. Yang hanya mewarisi cerita dari cerita orang lain, tanpa interpretasi.
Dia tidak akan menemukan jawaban atas pertanyaannya, prihal siapa dirinya, dari mana dia datang, dan ke mana dia mesti kembali. Makanya dia tidak pandai “Mangona” Allah. Karena sama sekali dia tidak akan pernah mengenal Allah, sebab dia tidak mengenal “Diri”-nya. ”Diri” yang merupakan tempat perjumpaannya dengan Tuhannya itu.
Jika subtansi dari inti kesadaran itu tidak dimilikinya, kesadaran lain sudahlah tentu tidak akan dipunyai pula. Hal itu dapat diibarat seorang tuan rumah yang tidak tahu di mana pintu masuk. Juga tidak mengenal kunci pembuka pintu rumahnya sendiri. Juga tidak tahu di mana letak lubang kuncinya.
Dengan begitu betapapun kita menerangkan kepadanya sejelas dan sedetil mungkin tentang isi rumah itu, hasilnya sia-sia belaka, sebelum dia merunut dan masuk ke dalam. Hasil semua itu tidak lebih sebatas angan angannya belaka.
Dan jikalau dia bercerita pada orang prihal tentang isi rumah tersebut, semuanya hanya rekaan dan opini kosong belaka. Sebab apa yang disampaikannya bukan kenyataan hasil penyaksiannya. Akan tetapi hanya sebatas rekaan dari sebuah cerita yang dengarnya. Bukan sesuatu dari proses pengalaman empris yang dapat dibuktikannya sendiri.
Seperti itu jugalah dalam kita bertuhan. Ini perkara yang tidak bisa diwakilkan. Atau dijadikan cerita dari apa yang didengar, yang kemudian untuk diceritakan pula pada orang lain. Melainkan sesuatu yang perlu diselami dan dirunut serta dibuktikan. Agar penyaksian yang kita ucapkan saat bersahadat itu tidak sebagai saksi bohong.
Kesaksian bohong dengan mengaku-ngaku bersaksi Tuhan itu Allah, padahal kenalpun tidak. apalagi menyaksikan? Itulah sebabnya kerap terjadi perdebatan demi perdebatan tak berujung dan berpangkal. Karena yang bercerita dan yang mendengar, masing-masing sama-sama tidak tahu. Atau sama-sama bohong.
Dengan kata lain jika seseorang tidak pernah merunut “Diri”-nya untuk melakukan pernyaksian itu, dia bisa dikatakan tidak pernah mengenal Tuhannya. Jadilah dia menyembah sesuatu yang dia sendiri tidak mengerti apa yang disembahnya.
Perkara bertuhan. Ini tidak bisa diwakilkan pada siapapun. Karena perkara bertuhan, mesti kita sendiri yang merasakannya. Untuk hal ini Allah tidak mempersulit. Dengan tegas Dia telah menyatakan dalam firman-Nya pada surat al-An kabut ayat yang ke-5
“Siapa saja yang berharap berjumpa dengan Allah. Allah akan bukakan jalan semudah mudahnya.”
Dengan demikian tergantung pada kemauan kita. Apakah kita memang butuh Allah atau tidak? Atau kita tetap selamanya merasa jadi tuan rumah,yang terkurung di luar…?
Facebook Comments