Oleh .Mulyadi Katinggian.
Menghidupkan sesuatu yang sudah hidup, adalah pekerjaan yang sangat sia sia, jika tidak disebutkan pekerjaan bodoh. Apabila ada orang yang menghidupkan sesuatu yang sudah hidup, seperti sebuah mesin yang sudah menyala, tentu ada bagian mesin tersebut menjadi rusak, jika masih distartert juga.
Perbuatan menghidupkan yang sudah hidup, dapat dipastikan tidak akan ada yang melakukannya, kecuali orang itu gila. Jika masih dilakukan juga, tentu akan berakibat celaka dan menimbulkan kerusakan yang tidak diinginkan. Karena yang dihidupkan orang, tentulah sesuatu yang mati, atau tidak hidup.
Lantas apa julukan yang mesti kita katakan, dan nilai apa yang kita beri kepada orang seseorang – yang kerjanya hanya menghidupkan mesin hidup itu hanya untuk tetap hidup. Sementara tujuan dihidupkannya hanya sebatas untuk hidup itu saja, tidak lebih dari itu? Tidak satupun manfaat yang dikejarnya selain hanya sebatas hidup belaka. Jika hal itu dilakukannya berkepanjangan, Apakah prilaku demikian masih bisa dinilai sebagai sesuatu perbuatan normal,
Orang bijak, tentu akan merawat, menjaga, dan menggunakan sebuah (ke)-“hidup”-(an), agar memperoleh manfaat yang maksimal di luar “hidup” itu sendiri. Tindakan demikian tersebab mereka mengetahui dan sangat memahami, bahwa sesuatu yang “dihidupkan” sudah pasti tidak memiliki “hidup” itu sendiri atau mati. Oleh sebab itulah dia “dihidupkan” agar memiliki arti.
Dari sini dapat kita melihat, bahwa hidupnya sesuatu yang dihidupkan, ternyata hanya secuil kecil dari sumber kehidupan. Karena kapasitasnya bisa di ukur dan dijengkali.
Halnya tentang “Si-hidup” tidak akan sama dengan kehidupan itu sendiri. Dia tidak bisa ditakar dan di ukur dengan kekuatan apapun, kecuali oleh sumber hidup itu sendiri. selain “Dia”, semua tunduk pada hukumNya.
Seperti sebuah mesin yang dicipta manusia, mesin itu tidak akan dapat menakar kekuatan hidup sipencipta atau orang yang menghidupkannya. Sebaliknya si pencipta mesin, tentu dapat menerka dan menguasai hidup mesin yang dibuatnya itu. Karena dialah yang menciptakan mesin tersebut.
Apabila bicara di luar kehidupan, maka yang ada tentulah kematian. Karena pasangan atau akronim dari diksi “hidup”, adalah “mati”. Tidak ada yang lain.
Hal itu mengandung pengertian bahwa sumber kekuatan maha dahsyatnya setiap yang dihidupkan., bukanlah terletak pada kehidupan yang di-“hidup”kan itu, melainkan berada pada wilayah di balik kehidupan itu sendiri – yaitu pada penyebab dia hidup. Inilah yang dikatakan “mati.”
Bicara tentang mati, seluruh ahli kebatinan meyakini bahwa qaromah, kekuatan supranatural. kecerdasan dan kekuatan, bukanlah terletak pada kehidupan ini, melainkan berada pada wilayah kematian. Bahkan maqam tauhid yang tertinggi sekalipun, atau segala rahasia alam semesta ini, terletak pada wilayah kematian ini.
Sorga, neraka dan hidup itu sendiri, kuncinya adalah pada wilayah kematian. Itulah sebabnya mereka berupaya menguak misteri di balik kehidupan ini, dengan menyeberang wilayah kematian, sehingga dapat mengendalikan kehidupan ini. Sebab mereka tahu, bahwa keberadaan hidupnya hanyalah gerbang dari sumber kehidupan yang sesungguhnya.
Akan sangat mengherankan, apabila orang yang ingin menyeberangi kehidupannya, berkelana ke mana mana guna mencari rahasia hidup, akan tetapi tidak pernah menelisik dan menyimak kepada dirinya yang nyata-nyata “dihidupkan” itu.
Orang yang semacam itu, dapat dianalogikan orang yang menyelam di dalam lautan, kemudian bertanya di mana laut ?. Itulah sebabnya mereka jadi cemas hidup. Dan takut mati, karena tidak mengerti dengan hidupnya, Sehingga dia dipermainkan oleh kehidupan itu sendiri.
Karena tidak pernah mau mempelajari hidup, akhirnya kemana- mana meratapi hidup, dan selalu kalah dalam hidupnya., tersebab tidak pandai memanfaatkan hidup.
Seseorang yang tidak memiliki mana mungkin dia mempunyai. Maka demikian juga dengan kita dan alam ini. Kita bukan pemilik hidup, melainkan dihidupkan. Setiap yang dihidupkan pasti berawal dari mati dan selanjutnya berakhir dengan mati pula. Tegasnya, karena kita dan alam semesta ini “dihidupkan” maka pasti berlaku hukum hidup dan mati.
Apabila yang ada hanya hidup dan mati, maka wajib hukumnya, jika mati akan musnah musnah dan, yang ada hanyalah “hidup” itusendiri. Dengan demikian, saat itulah yang mati baru bisa menyaksikan hidup.
Demikian juga sebaliknya, jika hidup kembali pada sumbernya, maka yang tinggal pasti mati. Dan hidup tetap hidup. Karena bukan hidup namanya, jika dia juga mati.
Facebook Comments