KabaSumbar – Suku Mentawai, penghuni asli Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menawarkan kekayaan budaya dan cara hidup yang selaras dengan alam, menjadikannya salah satu suku tertua di Indonesia yang memikat perhatian dunia.
Tinggal di pulau-pulau seperti Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, suku ini dikenal dengan tradisi tato (titi), kepercayaan Arat Sabulungan, serta kehidupan harmonis berdampingan dengan satwa endemik.
Tato Mentawai: Seni Rajah Tertua di Dunia
Tradisi tato Mentawai, yang disebut titi, diakui sebagai seni tato tertua di dunia, berasal dari era Neolitik sekitar 1500-500 SM. Tato ini bukan sekadar hiasan, tetapi simbol identitas, status sosial, dan keberanian.
Motif seperti binatang atau tumbuhan mencerminkan profesi, seperti pemburu, atau kedekatan dengan alam. Proses pembuatannya tradisional, menggunakan jarum dari tulang hewan atau duri pohon, dengan tinta alami dari arang dan daun pisang.
Menurut penelitian Ady Rosa, terdapat 160 motif tato yang sarat makna spiritual dan estetika, meskipun tradisi ini sempat terancam punah akibat modernisasi dan larangan masa lalu.
Arat Sabulungan: Hidup Selaras dengan Roh Alam
Suku Mentawai menganut kepercayaan Arat Sabulungan, sebuah sistem animisme yang memandang semua benda—tumbuhan, hewan, hingga batu—memiliki roh. Ritual dipimpin oleh sikerei (dukun adat) untuk menjaga keseimbangan dengan roh leluhur dan alam, seperti upacara persembahan dan tarian suci.
Rumah adat uma, dibangun dari kayu dan rotan tanpa paku, menjadi pusat kehidupan komunal dan ritual, mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Bertahan Hidup di Alam
Suku Mentawai hidup sebagai petani ladang berpindah, nelayan, dan pemburu, mengandalkan hutan tropis dan laut Mentawai. Mereka memanfaatkan tumbuhan untuk obat-obatan, dipandu oleh sikerei yang memiliki pengetahuan mendalam tentang alam.
Racun anak panah dari tumbuhan digunakan untuk berburu, menunjukkan keahlian mereka dalam bertahan hidup. Meski modernisasi mengancam, generasi muda Mentawai, seperti Vincentius Tatebburuk, aktif melestarikan satwa endemik seperti lutung Mentawai (joja) melalui pusat konservasi Malinggai Uma.
Berdampingan dengan Satwa Unik
Taman Nasional Siberut, diakui UNESCO sebagai cagar biosfer, menjadi rumah bagi primata endemik seperti lutung Mentawai, monyet ekor babi, dan owa Mentawai.
Suku Mentawai hidup berdampingan dengan satwa ini, menghormati mereka sebagai bagian dari ekosistem. Tradisi berburu dilakukan dengan penuh kearifan, memastikan kelestarian alam.
Wisatawan dapat menjelajahi hutan Siberut untuk melihat flora dan fauna unik ini sambil belajar budaya Mentawai dari desa adat seperti Madobak.
Upaya Pelestarian Budaya
Meski menghadapi tantangan modernisasi, Suku Mentawai terus melestarikan tradisinya. Komunitas seperti Sikerei Tirit Oinan mengajarkan budaya kepada generasi muda, sementara proyek Mentawai Tattoo Revival oleh Aman Durga Sipatiti menghidupkan kembali seni tato. Pemerintah dan organisasi masyarakat juga mendukung pelestarian budaya dan lingkungan Mentawai.
“Mentawai adalah perpaduan unik antara budaya, alam, dan spiritualitas. Tradisi kami mengajarkan harmoni dengan alam yang harus dijaga,” ujar seorang sikerei dari Siberut.
Facebook Comments