Malam itu, di palanta surau, sejumlah orang, berpakaian celana hitam galembong, baru saja beristirahat setelah melakukan latihan silat di halaman surau.
Di palanta surau, tampak salah seorang peria, duduk bersandar pada dinding surau. Peria itu dipanggil teman-temannya dengan nama Ismet – yang lebih dahulu beristirahat. Terlihat Ismet menggeser duduknya ke depan guru dan bertanya.
“Guru.. Saya terus berdzikir. Tapi hati saya tetap susah. Apalagi masalah ekonomi. Ini sangat membuat saya gelisah?” tanya salah seorang murid dengan wajah putus asa pada sang guru.
Sambil memperbaiki duduknya di palanta surau menanggapi “Sejak kapan kamu tukar tuhanmu? ” jawab sang guru.
“Tidak pernah saya menukarnya, guru ! Tuhan saya tetaplah Allah.. ” jawabnya.
“Itu kan kata bibirmu saja, tapi hatimu tidaklah begitu.. ” kata sang Guru.
“Maksud guru? ” tanyanya bingung.
“Setiap saat, di dalam hatimu, yang besar itu bukanlah Allah, akan tetapi kesusahan. Buktinya kamu tidak mampu menghindar ataupun menyingkirkan “susah” itu di hatimu. Bagimu yang besar itu hanyalah “susah”. Tegasnya susah itu lebih besar dan berkuasa di dalam hatimu daripada Tuhan itu sendiri. Bahkan kemana-mana susah itulah yang menguasai hatimu. Bukan Allah yang Maha Rahman dan Rahim yang Ghaniyu..” kata sang guru menegaskan .
“Lantas bagaimana lagi guru?” tanyanya.
“Sibukkanlah hatimu dengan Allah, jangan kamu disibukan oleh susah itu, agar susah itu tidak menjalar dalam darah dan mengerogoti setiap gerak hidupmu.. ” jawab sang guru.
Selang beberapa waktu, seorang murid yang lain di palanta Surau itu, Eka tukul mengajukan pertanyaan yang senada.
“Guru, saya selalu berdoa akan kebaikan kehidupan ekonomi keluarga saya. Bahkan tidak jarang saya melakukan sholat tahjud dan sholat hajad di tengah malam. Dengan mengerjakan sholat itu saya berharap agar hidup ini berubah lebih baik. Tapi kenapa Allah belum juga mengabulkan permintaan dalam do’a saya itu. ” Keluh Eka Tukul.
” Jika kau benar benar meminta, apakah kau sangka, sulit bagi Allah mengabulkan doamu itu? ” tanya sang guru balik bertanya.
“Tentu saja tidak guru..!, lantas kenapa Allah belum mengabulkan juga?” tanya Eka.
“Saya pikir, bukan Allah yang tidak mau mengabulkan doamu. Tetapi kamulah yang selalu mengusir Allah jauh-jauh ke langit. Engkau tidak pernah memberi kesempatan Allah untuk hadir di hatimu.
Engkau lupa dan mungkin menguigkari bahwa yang mendenyutkan jantungmu adalah Dia. Dialah Allah Yang Maha mengetahui dan Maha segala-galanya”, terang sang guru.
Facebook Comments