BerandaCiloteh Palanta Surau Muliadi KatinggianCiloteh Palanta Surau 6 : Kematian Memahami Kertas Kosong

Ciloteh Palanta Surau 6 : Kematian Memahami Kertas Kosong

Oleh . Mulyadi Katinggian:

Sore itu aroma kematian seakan mengancam seseorang lelaki yang duduk berhadap- hadapan di depan Sang guru. Di kampung Sairih Lomak, Lelaki itu oleh orang-orang di kampung itu di panggil Ustadz. Namanya H. Malin Sarugo. Panggilan tersebut kesukaannya menceramahi  setiap orang yang ditemuinya. Tidak peduli di warung ataupun di ladang-ladang, berjibun kata neraka dan surga, keluar dari mulutnya.

Kematian.. ! Dengan ekspresi wajah cemas kata-kata itu sering dilontarkan Malin Sarugo kepada Sang guru. Malin Saruga tampak ketakutan Ketika kata itu diucapkan.

Kehadiran Malin sarugo, mengherankan orang-orang di sana. Apalagi yang dibahasnya adalah soal mati. Lelaki baya yang mengaku orang yang paling saleh di kampung itu, kerap menafikan pengajian di surau-surau yang ada di pelosok-pelosok kampung. Menurutnya pengajian di surau-surau itu sudah kuno, karena guru-gurunya, bukan orang-orang terpelajar yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Kebanyakan murid-murid surau banyak yang senewen, karena tdk mampu menyerap kaji yang di ajarkan para guru di surau-surau dimaksud.

Wajahnya penuh ketakutan , seperti seseorang yang tengah minta perlindungan dengan Sang guru.

“Guru.. aku takut sekali mati !  kata Malin Sarugo pada Sang guru.

Kemudian katanya pula “Aku juga selalu diliputi kecemasan menghadapi hidup ini. Apa yang mesti kulakukan guru?” Tanyanya.

Dengan enteng Sang guru berkata, “Oh begitu ya ?

Iya. Takut sekali guru ! jawab Malin Sarugo.

kematuan surau

Sang guru mengambil secarik kertas dan ballpoint, “ Ini ballpoint dan kertas !. Coba kau jawab soal soal di kertas itu.” Kata Sang guru sambil memberikan kertas kosong padanya.

Tentu saja Malin Sarugo melongo. Karena kertas yang disosorkan Sang guru itu kosong. Tidak ada tulisan apa-apa.

“Apa yang mesti saya jawab guru? Tanyanya, heran.

“Soal apa yang harus saya jawab dan tulis ?, katanya lagi.

Sang guru hanya tersenyum dan bertanya.

“Mana yang lebih kau takuti, hidup atau mati.. ?

“Agar aku dapat menolongmu Engkau harus menjawabnya dengan jujur “, timpal  Sang guru.

“Sebab jika kutolong engkau pada yang kurang dan kau takuti, Aku takut pertolonganku sia sia.” Kata Sang guru lagi.

“Aku lebih takut mati” jawab Malin Sarugo “.

“Oh begitu.. ya ? Kata Sang guru. Kalau hanya takut mati, itu cuma masalah geleng ( enteng ) lah itu.” Jawab Sang guru  sambil tersenyum.

“Maksud guru?” Tanyanya heran.

“Jika kau memang senang hidup, dan takut mati. Kenapa tidak kau sempurnakan hidupmu..? Semestinya, kau harus menyadari untuk apa kau dihidupkan Allah di bumi ini. Jika tidak kau sadari, maka wajar saja kau kecemasan dalam hidup ini,  Sebab kau menjalani apa yang tidak kau pahami. Atau tidak tahu apa yang mesti kau lakukan. Seperti aku memberi kertas tadi.” Terang  Sang guru.

“Jadi apa yang mesti ku lakukan guru?” Tanyanya harap.

“Ondeh..mandeh…  kau ini !”, kata Sang guru sambal menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Bukankah sudah aku katakan, sempurnakanlah hidupmu !. Dengan demikian nantinya mati itu pasti akrab denganmu. Sehingga kau tidak mesti takut lagi menghadapinya.” Jawab jelas sang guru lagi.

“Apa benar begitu guru?” Tanya ragu.  Malin sarugo tampaknya masih belum paham maksud Sang guru.

“Iya.. memang begitu adanya !. Engkau takut pada mati, karena engkau belum kenal dan belum akrab saja dengan mati itu. Apabila engkau sudah akrab dengan mati itu, besar kemungkinan engkau jadi suka padanya. Sebab mati itu baik. Apalagi pada orang yang menyadari, kenapa dia dihidupkan Allah dan pandai menyempurnakan kehidupan itu.  Dengan demikian mati itu pasti sangat ramah padamu.” Terang kata guru menegaskan.

“Saya serius lho guru , guru ini jangan mengada-ada dan bercanda !. Mana mungkin mati itu ramah ” katanya heran bercampur kesal.

“Siapa bilang aku mengada-ada, atau bercanda ? Kalau engkau mau membuktikan, coba setiap saat kau minta nasehat pada mati itu. Pasti hidupmu akan baik.” Kata Sang guru .

“Bagaimana caranya guru?” Tanya Malin sarugo ingin tahu.

“Oh..kalau  begitu, itu tidak sulit. Cukup setiap apa yang kau lakukan, tanya pada mati itu, hai… mati, jika aku sedang melakukan ini engkau datanglah !, dan tanya, bagaimana pendapatmu hai.. mati, dan penilaian Allah padaku?”

Sang guru diam sejenak, menunggu respon Malin Sarugo. “Tanya sajalah itu, pasti dijawabnya.” Kata Sang guru lagi .

Malin Sarugo hanya menunduk. Dan sang guru tahu, bahwa sesungguhnya Malin Sarugo masih ingin       bertanya.

“Jika engkau memang takut pada mati itu, maka mulai hari ini, sebaiknya tidak usah mati itu kau lawan. Tidak perlu kau petantang-petenteng alias Godang karengkang atau sok jago begitu. Memangnya engkau sanggup melawan, atau lari dari mati itu ?” tanya Sang guru tegas.

“Tidak guru.. “jawabnya Malin sarugu seraya menggeleng.

” Nah…! Sebaiknya engkau akur- akur saja dengan mati itu. perbaikilah hidupmu menjadi lebih sempurna, sesuai  tujuan hidup itu sendiri, agar engkau tidak dipersulit si mati itu jika kau menemuinya.

Bukankah itu yang kau inginkan? Sebab kau takut mati dan suka hidup.” Jelas Sang guru. yang dijawab Malin sarugo dengan anggukan menunduk.

Editor . Young Slomak

Facebook Comments

- Advertisement -
Must Read
- Advertisement -
Related News