Oleh Mulyadi
Malam semakin larut. Di palanta surau, dialog pemain bola kaki semakin seru antara sang Guru dengan salah seorang tamu. Diskusi antara tamu dan Sang guru tak kunjung surut. Begitu juga diskusi antara sesama tamu tetap berlangsung. Temanya bahkan sampai persoalan politik praktis. Soal si Polan menjadi caleg, hingga anggota dewan yang mau mencaleg Kembali.
Pembahasan tentang bola kaki semakin seru di pojok palanta surau. selain sang guru dan tamu, murid murid yang lainpun tampak serius duduk bersila membentuk setengah lingkaran di depan Sang guru.
Si tamu bertanya pada sang Guru, “Guru !, aku telah jadi seorang ayah. Sejak masa lajangku, hidupku selalu di dalam kesusahan. Berbagai pekerjaan sudah aku lakukan. Tapi hidupku belum juga berubah. Penghasilan tidak memadai buat kebutuhan hidup kami sekeluarga. Sementara kawan kawanku yang seleting, banyak yang telah berubah. Bahkan diantaranya banyak yang sukses. Dimana salahku guru ?. Tolonglah doakan oleh guru !. Kenapa nasib saya begini guru?..” Harapnya seakan menyesali nasib.
Sambil memperbaiki peci usangnya, Sang guru mengecilkan matanya, mengarahkan tatapannya ke arah pohon jambu yang tumbuh di sudut halaman surau, “Tolong kau ambilkan galah itu, biar ku pukul “nasib” mu itu, agar dia ( nasib-red ) berubah. Sekalian aku juga ingin makan jambu biji ini.” Suruh Sang guru, sambil menunjuk sebuah bilah pendek yang tersandar di pojok palanta surau.
Si tamupun langsung mengambil sepotong bilah, “Ini…!. maksud guru?” Tanyanya heran sambil mengacungkan bilah yang hanya panjang sehasta itu pada Sang guru.
“Iya.. ! Memangnya kenapa?”, tanya Sang Guru sambil membelalakan mata dan mengernyitkan keningnya pura pura heran.
“Buah jambu itu tinggi, tidak sampai jika ditonjok dengan bilah pendek ini guru, kata Si tamu setelah membandingkan panjang bilah dengan ketinggian pohon jambu itu.
Biarlah ku cari kayu yang lebih panjang atau kupanjat saja pohon jambunya.” Kata tamu menawarkan diri.
Sang guru hanya tersenyum. Tanpa menghiraukan usul si tamu, seraya meraih pundak tamu sambil merangkulnya, berjalan menuju lesehan di depan kami.
“Kenapa tidak jadi mengambil buah jambu itu guru?” Tanya si tamu heran.
“ Karena engkau sudah berfikir bahwa panjang bilah tersebut tidak akan bisa menjangkau ketinggian buah jambu, berarti engkau sudah hebat dan cerdas .
Jadi buat apa lagi susah susah mengambil buah jambu yang hanya sebiji itu?
Segudang jambu pasti nanti bisa engkau dapatkan”. Jawab sang Guru sekenanya.
“Saya belum paham maksud guru ! Di mana letaknya cerdas saya guru?” Tanya tamu keheranan.
“Pernahkah engkau melihat bayi yang baru lahir, langsung jadi pemain bola kaki hebat?” Tanya Sang guru.
Si tamu menggeleng, dan menatap nanar mendengar pertanyaan sang guru. Di kepala Si tamu penuh dengan kebingungan dan diliputi heran .
Sang guru sepertinya menangkap tanda tanya di wajah Si tamu.
Mungkin karena anak ini belum dapat memahami dan menangkap jawaban Sang guru atas pertanyaannya tadi.
“Nah.. menurut pendapatmu, kenapa orang bisa jadi pemain bola kaki hebat? Tanya guru lagi. Bukankah pada mulanya dia juga bayi sepertimu?” Sambung Sang guru.
“Karena dia gigih berlatih dan tekun.” Jawab Si tamu cepat.
“Apakah semua kehebatannya itu tidak karena faktor nasib? Atau tidakkah karena dia tahu, bahwa Allah tidak merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak ingin berubah. ” Tanya Sang guru sambil tersenyum.
Si tamu menatap dalam kepada Sang guru, kemudian menundukan kepalanya. Mungkin dia menyadari dan mulai mengerti, bahwa bukan nasibnya yang jelek. Akan tetapi galahnya yang pendek. Sehingga buah buah yang di inginkannya tidak tercapai.
“Jika saja seorang bayi yang baru lahir, bisa langsung hebat main bolakaki? Aku yakin kau pasti lari ketakutan melihatnya, lanjut Sang guru. Tetapi karena pemain bola kaki hebat tadi berlatih gigih dan menekuni permainan bolakaki itu dari kecil,. Maka jadilah dia sukses dan hebat sebagai pemain bolakaki ternama, terang Sang guru.
Sekarang saya bertanya pada mu, ujar Sang guru, jika kamu diumpamakan sebagai toko, merek apa yang bisa saya pasang di pintu tokomu? Sementara tokomu itu kosong. Tidak satupun yang bisa di jual di toko itu !, tuding Sang guru.
“Galahmu pendek semua. Bagaimana mau mendapatkan buah?” Tukas Sang guru, tajam, sehingga membuat mata si tamu berair, karena tudingan gurunya.
“Dari pada kau menangis menyesali nasib. Lebih baik kau panggil nasibmu itu. Bilang padanya. “Hai Sib, sebaiknya kau jangan jelek- jelek begitu. Nanti aku malu pada semua orang..!” Katakan saja begitu pada nasib mu itu. Jelas Sang guru sambil mengibas-ngibaskan nyamuk yang mengintai dengan kain sarungnya
Bukankah Allah telah mempercayakanmu buat merubah.. dirimu?. Lalu apa lagi yang kau rengek- rengekkan kapada Allah?” Tanya sang Guru
“Mungkin yang lebih baik sekarang, engkau bayangkan seorang bayi yang baru lahir menendang bola ke gawang dan mencetak gol . Pasti engkau akan tersenyum.” Kata sang Guru sambil menepuk bahunya, dan berdiri ingin pergi berwuduk untuk sholat sunat sebelum tidur
Sambil berjalan pergi mandi, sang Guru tersenyum senyum. Karena pada tahun menjelang pemilu ini banyak bayi berjenggot dan bertubuh kekar seperti orang dewasa. Labelnya pemain bolakaki hebat. Tapi bisanya hanya sekedar menggelinding- gelindingkan bola saja, tidak memiliki kompetensi di bidangnya. Bahkan diantaranya ada yang tidak pandai sama sekali menendang bola secara terarah ke gawang. Sekalipun foto wajahnya dengan senyum yang mempesona di balehonya dengan moto aduhai, bayi-bayi berjenggot terpampang di sentaro negeri ini. Ah..mungkin mereka sedang mencoba mengadu nasib, mana tahu terjaring menjadi pemain bolakaki hebat.”Bisik hati sang guru.
editor : Buyoung Slomax
Facebook Comments