Ciloteh Palanta Surau 1

oleh Muliadi Katinggian

Malam itu, di sebuah palanta Surau tua sekelompok orang tampak duduk-duduk santai. Ada yang bersila, ada juga yang duduk menyamping dengan menjuntaikan sebelah kakinya.

Di palanta surau itu , samar-samar tampak seorang pria baya duduk bersila dengan dengan tenangnya. Dalam cahaya yang hanya diterangi lampu kecil, yang berasal dari Accu mobil, peria berkostum sederhana berkupiah kumal itu, dipanggil Guru oleh sejumlah lelaki yang ada di sana.

Usia masing-masing yang ada di surau itu, tidak sama. Diantara banyak yang masih berusia relativ muda. Beberapa orang diantaranya terdapat usia yang dapat digolongkan sudah lanjut.

Suasana malam di palanta surau itu, tampak seperti orang yang tengah membahas suatu masalah keagaamaan.

Salah seorang lelaki di surau itu, tampak duduk dengan sikap penuh percaya diri. Usianya berkisar 45-an. Ia berpakaian jubah serba putih Sementara lelaki lainnya tampak biasa-baiasa saja. Lelaki tersebut merupakan anggota baru, yang mengaku ingin memperdalam ilmu agama di surau itu. Lelaki yang berpenampilan kostum budaya arab itu menyampaikan suatu pertanyaan tentang yang dialami saat berdzikir.

“Guru  !, setiap berdzikir, getaran tubuh  saya sangatlah kuat. Saking kuatnya getaran tersebut sering saya terguling guling seperti orang kerasukan. Kenapa bisa begitu Guru? ” tanyanya

Dengan tenang, sang Gurupun menjawab , “Jika  demikian yang terjadi pada saat kamu berdzikir, baguslah itu ! “.

“Itu berarti engkau sudah lebih hebat dari gurumu !..” jawab sang Guru sambil tersenyum.

Mendengar pernyataan sang guru tersebut, lelaki yang mengaku salah seorang murid dari salah satu aliran tariqat itu menanggapinya, “Ah.. Guru ini,  bisa aja !,  sambil menebar senyum bangga ke sekeliling palanta surau. “Mana mungkin saya lebih hebat dari guru saya itu. Saya masih dalam status belajar pada guru saya tersebut”,  komentarnya, seraya memperbaiki duduknya.

Dengan ekspresi tenang sang guru berucap, “Jika kehebatanmu itu tidak diperoleh dari gurumu tersebut, lantas dari siapa kamu perolehnya. “, tanya sang guru heran.

“Jika kehebatanmu tidak diperoleh hasil belajar dari gurumu, berarti, kehebatanmu itu berasal dari  ilmu laduni  ya !?” “sambung  sang guru.

“Oh.. Kalau itu, benar…, benar guru ! Tapi, yang saya maksudkan soal dzikir tadi.. ” katanya kembali bertanya.

“Nah.. Kalau soal itu, jawabnya tentu kamu sudah tahu”, kata sang guru. “Sudah berapa lama kamu berguru pada dia? ” tanya sang guru lagi..

“Hampir setahun.  “jawabnya.

“Sudah berapa kali kau lihat gurumu mengelepur gelepur seperti orang kesurupan begitu? “tanya sang guru, mulai tajam.

Dia menatap sang guru agak lama, kemudian menunduk dan menjawab.

“Belum pernah ku lihat..”jawabnya lemah. Mungkin lelaki itu mulai paham maksud sang guru tersebut.

” lantas dari siapa kamu tiru itu?” Tanya sang Guru lagi. “Padahal gurumu tidak pernah melakukan

hal itu “. Sekiranya Dzikir kamu itu benar,  barangkali defenisi hatimu yang tadi yang benar, bahwa kau sudah hebat dari gurumu” ujar sang guru sambil tertawa.

“Jadi kalau begitu, berarti saya salah ya guru? Tanyanya menyesali diri.

“Dimana pula letak salahmu? bukankah kau murid?, bukan guru..? Tapi jika kau sudah tahu, lantas kau ulang lagi, baru bisa di cap salah” kata sang guru.

“Kalau begitu, artinya guru saya yang salah, apakah demikian maksud Guru, itu? “tanyanya penuh keraguan.

“Kapan aku mengatakan gurumu yang salah?.  Gurumu saja, tidak pernah mengajarmu begitu..” Kamu ini ada ada saja.. Asal tuduh saja… “kata sang guru tertawa.

“Jadi…..?”katanya tak habis fikir..

“Nah.. Itulah gunanya kau belajar dzikir dan menuntut ilmu.. Agar kau tidak asal sorong saja. Atau

Mengelepar- gelepur tak tahu ujung pangkalnya.. ” kata sang guru..

“Guru ! Apa sebetulnya penyebab saya bisa demikian selama ini?” tanyanya penasaran.

“Aku juga heran, kata sang guru, kenapa kau bisa begitu? Padahal gurumu tidak pernah mengajar begitu. Dia tenang saat berdzikir. Kamu menggelepur gelepur. Kenapa kau tidak tenang meniru gurumu. Aneh juga kalau begitu. Aku juga heran. Kira kira kenapa bisa begitu ya..? ” tanya sang guru, pura pura heran.

” Tapi Guru, kata kawan saya dan orang orang banyak,  jika kita masih belajar memang begitu,  kata mereka.. ” terangnya.

“Nah kamu ini, memang nakal.Semula, kamu katakana kamu berguru pada gurumu. Sekarang kau katakan, yang kau ikuti kata temanmu dan pendapat orang. Jadi… Yang jadi guru, temanmu atau gurumu? Pusing aku.. ” kata sang guru,  sambil menepuk keningnya dan melirik  usil padanya.

“Kalau begitu, berarti saya salah ya guru..?” Katanya sekali lagi menginsyafi diri.

Mendengar itu sang guru hanya diam saja. Karena pertanyaannya itu, tak perlu lagi aku jawab, kata sang guru dalam hatinya.

Facebook Comments

- Advertisement -
Must Read
- Advertisement -
Related News