Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma menyampaikan empat masalah mendasar yang merupakan temuannya terkait realisasi CSR BP Tangguh dan perlakuan serta hubungannya dengan masyarakat di wilayah operasional Tangguh LNG di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.
Temuan ini disampaikan untuk dikaji dari berbagai perspektif dalam diskusi publik bertema “Membaca CSR dalam Praktik LNG Tangguh Berbasis Fakta Temuan Senator Dr. Filep Wamafma”, 12 Mei 2023.
Keempat masalah itu antara lain: (1) Pembohongan Publik BP tentang Program Sosial (CSR) BP; (2) Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh BP dengan Dukungan SKK Migas; (3) Kejahatan Kemanusiaan oleh BP Dengan Dukungan SKK Migas (4) Rasisme Implisit dalam Program Sosial Maupun Ketenaga-Kerjaan.
Yang pertama, masalah Pembohongan Publik BP tentang CSR, Filep menguraikannya dalam empat kategori yakni berkaitan dengan Sumber Dana CSR serta Ethics & Compliance terhadap UU Otonomi Khusus Papua, tampilan BP tentang kepatuhannya terhadap etik dan hukum yang berlaku (Ethics and Compliance/E&C), klaim kontribusi BP di media yang tidak sejalan dengan fakta di lapangan dan penyalahgunaan keuangan dalam program ekonomi Subitu.
“Dalam publikasi nasional maupun internasional, BP tidak mempublikasi secara transparan sumber dana CSR BP Tangguh. BP menutupi penjelasan mengenai sumber dana CSR dengan kalimat ‘BP dengan dukungan SKK Migas, atau BP dengan Dukungan Pemerintah’. Frasa ini menutupi informasi tentang sumber dana CSR yakni dari sumber cost recovery, yang mengurangi penerimaan negeri dan Dana Bagi Hasil Migas Daerah. Ketidak-transparanan BP mengenai sumber dana CSR BP ini telah membohongi public seolah-olah dana CSR BP bersumber dari keuntungan BP,” ungkapnya.
Kedua, senator Papua Barat ini menyoroti adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh BP dengan dukungan SKK Migas terhadap Suku Sumuri dan Suku Sebyar di Kabupaten Teluk Bintuni.
Filep menyebut, BP dan SKK Migas mengetahui kesulitan masyarakat untuk memenuhi hak-hak dasar di wilayah operasional Tangguh LNG, seperti air bersih (masyarakat hidup tergantung dari air hujan atau air sungai yang keruh), fasilitas kesehatan dan pendidikan kurang atau bahkan buruk.
Selain itu, keberadaan satu-satunya transportasi tempat bergantungnya aktivitas masyarakat yaitu transportasi sungai, laut, teluk juga dalam kondisi buruk sehingga menimbulkan biaya mahal bagi guru dan petugas kesehatan.
“BP dan SKK Migas membiarkan masyarakat dalam kesulitan memenuhi hak-hak dasar. BP dan SKK Migas membiarkan situasi ini berlangsung dan mengakibatkan hak asasi penduduk setempat untuk mendapatkan akses kesehatan, pendidikan, ekonomi murah karena transportasi yang baik tidak terpenuhi. Sementara BP menggunakan cost recovery menikmati hidup mewah, fasilitas kesehatan mewah dan transportasi mewah yang tidak bisa di akses oleh masyarakat,” ungkapnya prihatin.
“BP dan SKK migas menggunakan dana cost recovery untuk menikmati hidup mewah di LNG Site. Di sisi lain, untuk menikmati transportasi dan fasilitas kesehatan mewah akan dipotong dari penerimaan negara dan DBH, dan membiarkan masyarakat kesulitan memenuhi hak-hak dasar,” sambung Filep.
Lebih lanjut, yang ketiga, Filep mengungkapkan bahwa BP didukung oleh SKK Migas telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat di wilayah operasional perusahaan. Pasalnya, pembiaran yang dilakukan menunjukkan rasa nir humanitas sebagai sesama manusia, terlebih sebagai perusahaan yang bertahun-tahun mengelola SDA migas di tanah Bintuni.
“Pembiaran terhadap adanya stunting, gizi buruk ekstrim, konsumsi air buruk, serta fasilitas kesehatan yang buruk dan pembiaran terhadap kemiskinan ekstrim adalah kejahatan kemanusiaan, sementara BP didukung oleh SKK Migas menikmati kemewahan di LNG Site menggunakan dana cost recovery,” jelasnya.
“Pembiaran ini dialami oleh masyarakat setempat terutama dua suku yang tanah adatnya digunakan untuk operasional Tangguh Proyek dan yang dari tanah adatnya LNG ditambang dan memperkaya BP dan pemerintah selama bertahun-tahun,” tambahnya.
Tak hanya itu, keempat, Filep juga menyoroti adanya dugaan praktik Rasisme Implisit dalam program sosial dan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Dugaan ini diperkuat dengan pengakuan mantan pegawai BP Indonesia yang merupakan putra asli Papua yang diterima oleh Filep Wamafma.
Filep menerangkan, rasisme implisit yang dimaksud adalah pandangan berdasarkan warna kulit bahwa makin putih seseorang makin tinggi nilai kemanusiaan dan kemampuan kerjanya. Makin hitam seseorang, makin dipandang sebagai binatang, dan ditempatkan pada strata terendah dalam hirarki kebudayaan manusia.
“Narasumber (mantan pegawai BP) mengaku bahwa pernah memprotes kondisi ini dengan menulis surat protes kepada Senator Tom Dussel Asal Amerika (Ketua Tangguh Inedependent Advisory Panel). Akibat protes tersebut, narasumber diadili selama hampir 3 jam dan ditegur keras oleh President BP Asia Pasific William Linn (sekarang berkantor di Londong). Teguran William Lin ini dipertegas oleh Dhrmawan Samsu (Head of Country BP Indonesia waktu itu sekarang di Pertamina) dengan menyatakan bahwa narasumber mendapatkan “raport merah di BP Global”. Namun demikian narasumber tidak pernah dipecat karena surat protes itu, melainkan mengambil pensiun dini dari BP, sebab apa yang diprotes oleh narasumber adalah fakta,” jelas Filep.
Menurut Filep, mind-set rasisme implisit ini terlihat dari pembiaran pihak perusahaan bersama SKK Migas terhadap kondisi serba keterbatasan dan kekurangan yang dialami masyarakat setempat. Hal itu dikonfirmasi oleh kondisi saat ini saat penduduk asli seolah dianggap sebagai objek bisnis, sehingga CSR BP hanyalah kemasan bagi promosi reputasi perusahaan.
Pada aspek ketenagakerjaan, lanjut Filep, BP membuat publikasi bahwa 70 persen tenaga kerja Tangguh LNG adalah orang Papua. Publikasi ini dibuat dalam pertemuan BP dengan Pemerintah dan legislatif Provinsi Papua Barat yang difasilitasi SKK Migas di Jakarta tanggal 23 Januari 2023.
“Dalam kesempatan itu, Pimpinan DPR Papua Barat mengapresiasi klaim BP itu sebagai ‘keberpihakan’. Ironisnya, dalam foto bersama antara delegasi pemda (dipimpin Pj Gubernur Papua Bapak Paulus Waterpauw) tidak satu pun anak Papua dalam tim BP yang hadir dalam pertemuan itu,” kata Filep.
“Foto itu merupakan visualisasi fakta rasisme implisit dalam aspek ketenagakerjaan di BP dan di Tangguh Proyek dimana kaum kulit putih memimpin di top level, kaum kulit berwarna mengekor di middle level management dan kaum kulit hitam dari Papua dominan di low level,” ucap Filep menambahkan.
Ia kemudian menceritakan, pada awal tahun 2000 saat BP sedang mengambil hati rakyat Papua agar diterima melakukan operasinya, BP menempatkan anak Papua sebagai Vice President Sosial Strategy. Tapi kini pada level manajer pun sulit ditemui.
Bahkan, Duta Besar Inggris saat itu menyatakan bahwa BP akan mengikuti tradisi Inggris mengembangkan SDM Papua agar mampu mengelola Proyek Tangguh merujuk pada pengalaman BP di Afrika Selatan yang melawan politk Apartheid dengan mengangkat Fred Phaswana menjadi Manajer pada tahun 1961.
“Namun, sesudah BP dan Tangguh LNG berproduksi, janji-janji ini dilupakan. Seorang karyawan aktif Tangguh asal Papua menyampaikan aspirasi agar klaim BP itu didalami lagi. Berapa anak Papua pada level staf? Berapa pada level non-staf? Pencapaian 70 atau 80 yang diklaim oleh BP itu melonjak dari berapa persen dalam berapa tahun? Apabila lonjakan itu naik dari 30 persen secara mendadak ke 70 atau 80 persen dalam satu tahun maka patut diduga ada rekayasa statistik untuk memudahkan BP memperpanjang kontrak untuk beroperasi di Papua hingga tahun 2035,” ujarnya.
“Karyawan asal Papua yang menjadi narasumber saya ini menyampaikan bahwa posisi tenaga kerja Papua di Tangguh LNG makin lemah sejak ditinggalkan oleh tenaga-tenaga senior asal Papua di WFM (Work Force Management) dan di CRP (Coorporate Responsibility Program). Untuk membguktikan aspirasi di atas, narasumber meminta delegasi DPD RI untuk mengunjungi Tangguh LNG untuk bebicara dan menyerap aspirasi langsung dari tenaga kerja Tangguh yang ada di LNG Site,” katanya lagi.
Oleh sebab itu, Filep mendesak Presiden bersama Pimpinan DPD RI untuk melakukan investigasi dan audit seutuhnya terhadap dampak dan kontribusi perusahaan kepada masyarakat. Hal ini sangat dibutuhkan mengingat fakta dan temuan lapangan yang bertolak belakang dan demi keadilan serta kesejahteraan masyarakat Papua sebagaimana dicita-citakan oleh negara.
“Demi kepentingan bangsa dan negara, saya meminta kepada Pimpinan DPD RI untuk menjadikan penyelesaian masalah ini sebagai agenda resmi DPD RI dan meminta Presiden Joko Widodo agar memerintahkan dilakukan investigasi, audit sosial dan audit keuangan terhadap BP, SKK Migas dan pemerintah Provinsi Papua Barat dan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni terkait operasional BP di wilayah Tangguh LNG dan distribusi DBH bagi pembangunan masyarakat pemilik tanah ulayat diwilayah tersebut,” pungkasnya.
Facebook Comments