Tenaga surya dan angin menjadi pendorong utama di balik perubahan ini, menawarkan solusi yang semakin terjangkau di berbagai belahan dunia. Biaya pembuatan pembangkit berbasis tenaga terbarukan bahkan kini lebih ekonomis dibandingkan pembangkit tradisional di banyak negara.
Negara-negara seperti Norwegia dan Brasil menonjol sebagai pelopor dalam transisi menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan. Norwegia mengandalkan hydropower dan angin laut, sementara Brasil memanfaatkan bioenergi dan tenaga surya.
Sebaliknya, negara-negara industri besar seperti Amerika Serikat dan China masih berupaya keras untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada bahan bakar fosil, meskipun mereka terus menginvestasikan dana besar dalam proyek energi hijau.
BloombergNEF melaporkan bahwa pada tahun 2024, investasi global dalam transisi energi mencapai rekor US$2,1 triliun, meningkat 11% dari tahun sebelumnya. Namun, angka ini masih jauh dari kebutuhan rata-rata tahunan sebesar US$5,6 triliun yang diperlukan antara 2025 hingga 2030 untuk mencapai target nol emisi bersih pada pertengahan abad ini.
Lonjakan kebutuhan listrik akibat pertumbuhan pusat data dan teknologi kecerdasan buatan juga memperkuat posisi energi hijau sebagai solusi utama dalam menghadapi krisis iklim. Seorang pakar dari IEA menyebut fenomena ini sebagai “momen krusial,” sambil mengingatkan perlunya mengatasi kendala seperti kelangkaan komponen dan proses birokrasi yang berbelit.

Facebook Comments